8.1
Konsep Dasar PPh Badan
Badan adalah
sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun tidak melakukan usaha. Misalnya: PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/D
dengan nama dan dalam bentuk apapun, Fa, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun,
Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Ormas, Orsospol, atau Organisasi yang
sejenis, Lembaga, Bentuk usaha tetap dan Bentuk badan lainnya termasuk
reksadana
Dasar pemotongan pajak dibedakan
menjadi penghasilan bruto dan penghasilan neto. Dasar pemotongan pajak adalah
jumlah penghasilan bruto untuk penghasilan sebagai berikut:
- Deviden
- Bunga termasuk premium, diskonto
dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian piutang
- Royalti
- Hadiah dan penghargaan
- Bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi
Dasar pemotongan pajak adalah penghasilan neto untuk
penghasilan sebagai berikut :
- Sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta
- Imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain
selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
Subjek Pajak Badan, terdiri dari:
a.
Dalam Negeri
Badan didirikan di Indonesia atau bertempat
kedudukan di Indonesia
b. Luar Negeri
- Badan yg tdk didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia
- Menjalankan
usaha/kegiatan melalui BUT di Indonesia
-
Menerima atau memperoleh
penghasilan
dari Indonesia tanpa melalui
BUT
- Bentuk
Usaha Tetap
- Bentuk
usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak OP LN dan SP Badan LN untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan (pekerjaan bebas) di Indonesia
Bukan
Subyek Pajak Badan
a. Badan perwakilan Negara asing
b. Organisasi Internasional
Yang ditetapkan oleh Menkeu dengan syarat Indonesia menjadi anggotanya
dan tidak menjalankan usaha / kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota
c.
Unit tertentu dari badan
pemerintah dg syarat:
-
Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
-
Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau
APBD;
-
Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam
anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah;
-
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara
8.2
Dasar Hukum PPh Badan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (UU PPh tahun 2009) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009 dan
sebagian besar aturan pelaksanaannya telah diterbitkan. Perubahan ketentuan
peraturan perpajakan ini mengakibatkan berubahnya bentuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT PPh Badan). Sebagai tindak
lanjut penyampaian SPT PPh Badan, akan dilaksanakan penelitian SPT dan atas SPT
yang memenuhi kriteria akan dilakukan pemeriksaan.
Tarif Pajak Penghasilan secara umum
(disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib
Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam
satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk
Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas
Penghasilan Kena Pajak, maka jumlah Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan
dahulu ke bawah ribuan rupiah penuh. Misalnya Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi
Rp120.324.000,00.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif
pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak
Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum pajak
tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan
kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Berdasarkan
Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan
menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang
Pribadi. Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam bagian di bawah ini.
Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT
Tarif pajak yang
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri dan
Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan Rp50.000.000,00
|
10%
|
Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan
Rp100.000.000,00
|
15%
|
Di atas
Rp100.000.000,00
|
30%
|
8.3
Variabel-variabel Dalam Perhitugan PPh Badan
Pendapatan usaha dan penghasilan kena pajak
Wajib
Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
Penghitungan PPh
terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a.
Jika
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang
yaitu sebagai berikut:
PPh
terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak
b.
Jika
peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000,
maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh
Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang tidak memperoleh fasilitas.
Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
yaitu:
(Rp 4.800.000.000 /
Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak
Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.
Namun, mulai tahun
2010, tariff PPh Badan adalah 25% dari penghasilan bruto
Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap
Tahun
|
Tarif
Pajak
|
2009
|
28%
|
2010 dan selanjutnya
|
25%
|
PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di
bursa efek
|
5% lebih rendah dari yang seharusnya
|
Peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000
|
Pengurangan 50% dari yang seharusnya
|
Biaya-biaya yang dapat dikurangkan
Penghasilan
Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dihitung berdasarkan penghasilan
bruto dikurangi :
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya
perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan
pajak kecuali Pajak Penghasilan.
b. Penyusutan atas harta berwujud dan
amortisasi atas hak dan biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun
c. Iuran kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
d. Kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
e. Kerugian dari selisih kurs mata uang
asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya bea siswa, magang, dan
pelatihan.
h.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih, dengan syarat :
- Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan
laba-rugi komersial; dan
- Telah
diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Direktorat
Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan; dan
- Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus; dan
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang
yang tidak dapat ditagih kepada DJP, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Dalam menentukan besarnya laba suatu
BUT, biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Untuk dapat dikurangkan atau dibebankan
dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak, biaya atau pengeluaran tersebut
harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak Dengan demikian
biaya atau pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dikurangkan atau dibebankan.
Biaya bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak
boleh dikurangkan atau dibebankan, apabila dividen yang diterimanya bukan
merupakan Objek Pajak. Akan tetapi dalam hal ini biaya bunga pinjaman tersebut
dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan
Dalam menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, tidak boleh dikurangkan :
a.
Pembagian laba dengan nama dan dalam
bentuk apapun, seperti : dividen, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b.
Biaya atau pengeluaran untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c.
Pembentukan atau pemupukan dana
cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna
usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
d.
Premi asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang
dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan.
e.
Penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan,
kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
f.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang
dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
g.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau
sumbangan, dan warisan yang bukan merupakan Objek Pajak, kecuali zakat atas
penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya atau pengeluaran pribadi Wajib
Pajak yang bersangkutan atau orang yang menjadi tanggungannya.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham.
k. Sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan
pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, pembayaran kepada
kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah :
a. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan
penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
b.imbalan sehubungan dengan jasa
manajemen dan jasa lainnya;
c. bunga, kecuali
bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Penyusutan serta amortisasi
Biaya yang boleh dikurangi dari
penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha
atau kegiatan, biaya-biaya dan penyusutan. Biaya yang tidak boleh dikurangi
dari penghasilan bruto adalah biaya yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan usaha atau kegiatan, biaya-biaya dan penyusutan.
Pengeluaran
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus,
melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.
Sesuai
dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan
untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun
lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Contoh : pada bulan
April 2007 wajib pajak menyewa sebuah kantor untuk jangka waktu lima tahun
sebesar Rp.60 juta. Maka biaya sewa tahun 2007 hanya sebesar Rp.60 juta x
(9/60) atau sebesar Rp.9 juta saja.
Walaupun
demikian, tidak ada larangan jika wajib pajak melakukan amortisasi atas biaya
sewa tersebut. Larangan hanya untuk pembebanan sekaligus. Metode untuk
penyusutan dan amortisasi untuk keperluan pajak sebagai berikut :
a.
Garis
Lurus (GL), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa
manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
b.
Saldo
Menurun (SM), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa
manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa
buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan
syarat dilakukan secara taat asas.
Berikut tarif yang
berlaku untuk penyusutan :
Garis Lurus :
[1] kelompok 1
untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 25%; [2] kelompok 2
untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 12,5%; [3] kelompok 3 untuk
aktiva dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 6,25%; dan [4] kelompok 4 untuk
aktiva dengan masa manfaat 20 tahun, tarifnya 5%.
Saldo Menurun :
[1] kelompok 1
untuk aktiva dengan masa manfaat s.d. 4 tahun, tarifnya 50%; [2] kelompok 2
untuk aktiva dengan masa manfaat 8 tahun, tarifnya 25%; [3] kelompok 3 untuk
aktiva dengan masa manfaat 16 tahun, tarifnya 12,5%; dan [4] kelompok 4 untuk
aktiva dengan masa manfaat 20 tahun, tarifnya 10%.
Jadi
tarif penyusutan SM dua kali tarif penyusutan GL. Harap diingat, untuk
keperluan pajak, penyusutan dihitung per bulan. Seandainya kita beli aktiva
tanggal 30 pun maka pada bulan tersebut sudah boleh disusutkan. Selain itu,
tarif diatas tidak berlaku untuk bangunan. Bangunan hanya boleh dihitung dengan
GL dan tarifnya 5%, kecuali jika bukan bangunan permanen maka tarifnya 10%
saja. Jika terjadi pengalihan aktiva atau kejadian luar biasa, seperti
kebakaran atau banjir, maka aktiva tersebut disusutkan sekaligus. Artinya,
nilai buku yang ada langsung dibiayakan. Sebaliknya, jika dijua maka harga jual
merupakan penghasilan, jika mendapat penggantian asuransi kerugian maka
penggantian asuransi tersebut merupakan penghasilan.
8.4
Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan
Perhitungan PPh
Badan dilakukan pada setiap akhir tahun pajak. Jika ada kekurangan pembayaran
pajak, maka wajib disetorkan paling lambat tanggal 25 pada bulan ketiga setelah
tahun pajak berakhir. Pelaporan PPh Badan terutang setiap tahunnya dilaporkan
dengan cara membuat SPT Tahunan PPh Badan, dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan
Pajak setempat paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak
berakhir. PPh tsb
disetor paling lambat tanggal
15 bulan berikutnya setelah masa pajak perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Masa). Dan paling
lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya setelah
tahun pajak perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Tahunan). Pembayaran PPh tersebut dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) paling lambat tgl 20 bulan berikutnya setelah masa pajak
perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Masa). Dan paling lambat tgl 31 Maret tahun
berikutnya setelah tahun pajak perolehan penghasilan yang berakhir (untuk Tahunan).
Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan Kantor
Penerima Pembayaran dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat
diambil di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau KP4 terdekat, atau dengan cara
lain melalui pembayaran pajak secara elektronik.
Surat
Pemberitahuan (SPT) merupakan saran Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang
berkaitan dengan kewajiban perpajakan. SPT harus diisi dengan benar, lengkap,
dan jelas dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin dan angka arab,
satuan mata uang rupiah dan menandatangani serat menyampaikan ke Kantor
Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak.
Tata cara perhitungan PPh Pasal 25 untuk
wajib pajak badan adalah sebagai berikut :
PPh menurut SPT
Tahunan PPh tahun lalu xx
Pengurangan/kredit
pajak :
PPh Pasal 22 xxx
PPh Pasal 23 xxx
Dasar
penghitungan angsuran xxx
12
(atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak)
9.1
Penghasilan Netto
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak
sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan
kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud,
Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua
Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan
dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang
pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk
memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib
Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan
neto, dibuat /disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data
lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. disempurnakan terus-menerus serta
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada
dasarnya dilakukan dalam hal-hal :
a. tidak
terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib
Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan akan sangat membantu
Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung
penghasilan neto.
Syarat Penggunaan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
Wajib Pajak yang menghitung penghasilan
netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
1. wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum
dan tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan
penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
2. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
bulan pertama dalam tahun pajak yang bersangkutan.
3. Wajib Pajak memperoleh penghasilan bruto tidak melebihi jumlah
sesuai ketentuan.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang
berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi
tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang
ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a.
tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
b.
tidak bersedia memperlihatkan
pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan
pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang
sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan
dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
9.2
Kompensasi Kerugian Fiskal
Apabila penghasilan
bruto dikurangi biaya-biaya didapat kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan netto atau laba fiskal selama 5 tahun
berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh :
PT Anugerah dalam
tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Dalam 5 tahun
berikutnya laba rugi fiskal PT Anugerah sebagai berikut :
2010
: laba fiskal Rp.200.000.000,00
2011
: laba fiskal (Rp.300.000.000,00)
2012
: laba fiskal Rp
NIHIL
2013
: laba fiskal Rp.100.000.000,00
2014
: laba fiskal Rp.800.000.000,00
Kompensasi
kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi
fiskal tahun 2009 (Rp.1.200.000.000
)
Laba
fiskal tahun 2010
Rp. 200.000.000 +
Sisa
rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Rugi
fiskal tahun 2011 (Rp. 300.000.000)
Sisa
rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Laba
fiskal tahun 2012
Rp NIHIL +
Sisa
rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Laba
fiskal tahun 2013
Rp. 100.000.000 +
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
Rp. 900.000.000)
Laba
fiskal tahun 2014
Rp. 800.000.000 +
Sisa
rugi fiskal tahun 2009 (Rp. 100.000.000)
Rugi
fiskal tahun 2009 sebesar Rp.100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun
2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan
rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp.300.000.000 hanya boleh dikompensasikan
dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu 5 tahun yang
dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
Penghasilan Kena
Pajak (PKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak
Penghasilan yang terhutang.
Bagi wajib pajak
badan yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung
dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto
Rp. 6.000.000.000
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan (Rp.5.400.000.000)
- Laba usaha (penghasilan netto usaha) Rp.
600.000.000
- Penghasilan lainnya Rp.50.000.000
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut (Rp. 30.000.000)
Rp.
20.000.000
- Kompensasi Kerugian (Rp. 10.000.000)
-
Penghasilan
Kena Pajak
Rp. 610.000.000
9.4
PPh Badan Terutang
Ø Dasar Pengenaan Pajak. Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar
pengenaan pajaknya. Untuk wajib pajak dalam negeri dan BUT yang menjadi dasar
pengenaan pajaknya adalah penghasilan kena pajak (PKP). Jika PKP untuk wajib
pajak orang pribadi adalah sebesar penghasilan neto dikurangi dengan PTKP maka
lain halnya dengan perhitungan Penghasilan Kena Pajak untuk wajib pajak badan.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk wajib pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto nya.
Ø
PKP WP Badan
= Penghasilan Netto
|
Menghitung PKP dengan menggunakan pembukuan
Untuk wajib pajak badan besarnya PKP sama dengan penghasilan
nettonya yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang
diperkenankan oleh Undang-Undang PPh .
PKP WP Badan = Penghasilan Netto
= Penghasilan Bruto - Biaya
yang diperkenankan UU PPh
|
Menghitung PKP dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan
netto
PKP WP Badan = Penghasilan Netto – Kompensasi Kerugian
= ( Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh ) – kompensasi Kerugian
|
Ø Tarif PPh Wajib Pajak
Badan
Pada Pasal 17 ayat 1 huruf (b) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan : “b. Wajib Pajak badan dalam negeri
dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen)”.
Pada Pasal 17 ayat 2 huruf
(a) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan “a.
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (b) menjadi 25% (dua puluh lima
persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010”.
Kemudian pada pasal 17 (2b) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
dikatakan “ Wajib Pajak badan dalam
negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh
persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif
sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
a. Tarif
PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam
negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu sebesar 28%.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
dengan penghasilan kena pajak.
Contoh:
Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000
Contoh:
Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000
Jumlah
Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000
Pajak
Penghasilan yang terutang = 28% x Rp 4.000.000.000
= Rp
1.120.000.000
b. Tarif
PPh Pasal 17 ayat (2b)
Tarif
ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan
terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham
yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan
tertentu lainnya. Wajib Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima
persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
PPh terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.
Contoh:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = (28% - 5%) x Rp1.250.000.000
= Rp 287.500.000.
Lihat : Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007
tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri
yang Berbentuk Perseroan Terbuka.
c. Tarif PPh Pasal 31E
c. Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam
negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh
miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan
Kena Pajak
2) Jika peredaran bruto
lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka penghitungan
PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan
Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang memperoleh fasilitas yaitu:
(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
tidak memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.
Contoh 1):
Peredaran bruto PT Y dalam
tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp 500.000.000.
Penghitungan pajak yang
terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran
bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan
yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp
4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000
= Rp 70.000.000
Contoh 2
Peredaran bruto PT X dalam
tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak
sebesar Rp 3.000.000.000.
Penghitungan Pajak
Penghasilan yang terutang:
Jumlah Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000
= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000
= Rp 480.000.000
jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000
= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang
= (50%x 28% x
Rp480.000.000) + (28% x Rp2.520.000.000)
= Rp 67.200.000 + Rp
705.600.000
= Rp772.800.000
9.5
Kredit Pajak PPh Badan
Ketentuan pasal 25 Undang-undang pajak penghasilan
mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar
sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat
dilakukan dengan:
- Wajib pajak membayar sendiri
pajaknya (PPh pasal 25).
- Melalui pemotongan atau pemungutan pihak ketiga (PPh pasal 21,
22, 23, dan 24).
Besarnya
angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak
untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat
pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
- Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal
21 dan pasal 23, serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam pasal 22.
- Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
Dibagi
12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Penghitungan
Angsuran PPh pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Badan
PPh
menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu xxx
Pengurangan/Kredit pajak:
PPh pasal 22 xxx
PPh pasal 23 xxx
Dasar penghitungan
angsuran xxx
Angsuran PPh pasal 25 = dasar penghitungan
angsuran/12 (atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak)
Contoh
Pajak penghasilan yang terutang untuk PT Perdana berdasarkan
surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun 2009 sebesar Rp125.000.000.
Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak
ketiga serta yang terutang atau dibayar di luar negeri dalam tahun 2009 adalah
sebagai berikut:
- Pajak penghasilan yang dipungut
oleh pihak lain (PPh pasal 22) sebesar Rp30.000.000
- Pajak penghasilan yang dipotong
oleh pihak lain (PPh pasal 23) sebesar Rp15.000.000
- Pajak penghasilan yang dibayar di
luar negeri sebesar Rp42.500.000 tetapi berdasar ketentuan yang dapat dikreditkan
(PPh pasal 24) sebesar Rp40.000.000
Pajak penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh
pihak lain, dan yang dibayarkan atau terutang di luar negeri tersebut untuk
bagian tahun pajak yang meliputi masa 8 bulan dalam \tahun 2009.
Angsuran PPh pasal 25 untuk tahun 2010 adalah:
PPh terutang berdasar SPT Tahunan PPh tahun 2009 Rp 125.000.000
Kredit pajak:
PPh
pasal 22 Rp30.000.000
PPh
pasal 23 Rp15.000.000
PPh
pasal 24 Rp40.000.000
Dasar penghitungan angsuran Rp 40.000.000
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
oleh wajib pajak setiap bulan (PPh pasal 25) dalam tahun 2010 adalah:
Rp40.000.000 : 8 = Rp5.000.000
9.6
PPh Kurang Bayar
Menurut UU PPh Pasal 29 yang
berbunyi: “Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) kekurangan
pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.”
Untuk memberikan kepastian batas waktu pembayaran
PPh kurang bayar pada SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2008 (PPh Pasal 29),
maka Dirjen Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-35/PJ/2009 Tentang
Penegasan Mengenai Batas Waktu Penyampaian dan Pelunasan Kekurangan Pembayaran
Pajak Yang Terutang Berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2008. Berdasarkan SE-35/PJ/2009 tersebut ditegaskan
bahwa:
1.
Batas waktu penyampaian SPT Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah
akhir Tahun Pajak.
2.
Batas waktu penyampaian SPT Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir
Tahun Pajak.
3.
Vb
Pelunasan kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan terutang berdasarkan
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan
harus dilakukan sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan tersebut disampaikan,
paling lama sesuai dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2.
Berarti untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun
2008 maka kekurangannya harus dilunasi tanggal 31 Maret 2009, sedangkan untuk
SPT Tahunan PPh Badan tahun 2008 maka kekurangannya harus dilunasi paling lama
tanggal 30 April 2008 (jika tahun buku adalah Jan s.d.Des).
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 )
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
SKPKB dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun
dalam hal:
1.
Berdasarkan hasil pemeriksaan/keterangan
lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. Atas pajak yang
tidak/kurang dibayar tersebut ditambah sanksi administrasi bunga sebesar 2% per
bulan maksimum 24 bulan (berlaku baik atas PPh, PPN, maupun PPn BM).
2.
SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu
yang ditentukan dalam Surat Tegoran. Atas jumlah pajak yang terutang
dikenakakan sanksi kenaikan sbb:
a. PPh
Sendiri (Badan/Orang Pribadi/BUT), kenaikan sebesar 50%
b. PPh
Pemotongan/Pemungutan, kenaikan sebesar 100%
c. PPN/PPn
BM, kenaikan sebesar 100%.
d. Berdasarkan
hasil pemeriksaan PPN/PPn BM disimpulkan bahwa ; terdapat PPN yang seharusnya
tidak dikompensasikan atau tidak dikenakan tarif 0%. Atas jumlah pajak yang
terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar 100%.
e. Kewajiban
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (perihal pembukuan) dan Pasal 29
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (berkenaan dengan pemeriksaan) tidak
dipenuhi. Atas jumlah pajak yang terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar:
i.
100% untuk PPh sendiri (PPh Orang
Pribadi/Badan/BUT).
ii.
50% untuk PPh Pemotongan/Pemungutan.
f. SKPKB
dapat diterbitkan meskipun jangka waktu 10 tahun telah lewat, dalam hal wajib pajak
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan oleh pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas jumlah pajak yang terutang
dikenakan sanksi bunga 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
9.7
Angsuran PPh Pasal 25 tahun Barjalan
Dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh), dikenal adanya satu sistem pembayaran Pajak Penghasilan
yang dilakukan di awal tahun pajak, sebelum suatu penghasilan yang menjadi
objek pajak dapat ditentukan (baca: dihitung). Sistem ini diatur dalam Pasal 25
UU PPh. Pembayaran pajak yang diatur dalam pasal ini (biasanya diistilahkan
sebagai PPh Pasal 25) akan diperlakukan sebagai pembayaran pajak di muka dan
akan diperhitungkan sebagai kredit pajak pengurang atas PPh terutang yang dihitung
pada akhir tahun pajak.
Rumus untuk menentukan besarnya PPh
Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (baik orang pribadi maupun badan)
setiap bulannya dalam tahun berjalan adalah besarnya PPh terutang tahun pajak
sebelumnya (PPh terutang tahun berjalan diasumsikan akan sama dengan PPh
terutang tahun sebelumnya) dikurangi dengan kredit pajak yang telah dipotong
oleh pihak ketiga (yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24
dan PPh Pasal 26) dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak
(berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh).
PPh Pasal 25 ini harus disetorkan
oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya (misalkan untuk masa
Januari, maka harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari) serta dilaporkan
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (misal untuk masa Januari, maka
paling lambat lapor adalah tanggal 20 Februari).
Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat
(2) UU PPh, ditegaskan bahwa besarnya angsuran pajak (PPh Pasal 25) yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu SPT
Tahunan PPh disampaikan besarnya adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 untuk
bulan terakhir tahun pajak yang lalu (bulan Desember tahun sebelumnya).
Dengan adanya perbedaan batas waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh antara orang pribadi dengan badan di tahun 2009
ini, menyebabkan perlakuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh ini akan berbeda untuk
orang pribadi dan badan.
Mulai tahun pajak 2009 ini, batas
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 2008 adalah tanggal
31 Maret 2009. Oleh sebab itu, untuk PPh Pasal 25 masa Januari 2009 (yang harus
disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2009) dan masa Februari 2009 (yang
harus disetor paling lambat tanggal 15 Maret 2009) batas waktu pelaporannya
adalah sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008
disampaikan, sehingga tidak dapat dihitung besarnya angsuran PPh Pasal 25
dengan menggunakan Pasal 25 ayat (1) UU PPh. Maka untuk kedua masa ini, dasar
untuk menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetorkan adalah
berdasarkan setoran untuk masa Desember 2008).
Untuk Wajib Pajak badan, selain PPh
Pasal 25 masa Januari 2009 dan masa Februari 2009 yang angsurannya tetap
menggunakan angsuran berdasarkan masa Desember 2008, untuk masa Maret 2009
(yang harus disetorkan paling lambat tanggal 15 April 2009 dan batas
penyetorannya ini masih sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh badan)
PPh Pasal 25-nya juga mengikuti besarnya angsuran masa Desember 2008.
Barulah untuk setoran PPh Pasal 25
masa April 2009, Wajib Pajak badan harus menyesuaikannya berdasarkan
perhitungan pada angsuran Pasal 25 ayat (1).
trimaksih infonya
BalasHapusKABAR BAIK!!!
HapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.
nice share gan. makasi
BalasHapusmisi yg punya blog,saya igin promosi saja,bila anda ada maslah pajak,mari konsultansikan masalah pajak anda ke kami,hub no wa saya 085210458499,terima kasih
BalasHapus
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut